BUSANA ADAT GAYO
Wilayah suku bangsa Gayo terletak
di bagian tengah daerah propinsi Daerah Istimewa Aceh. Di masa silam orang Gayo
pernah mengenal bahasan busana dari kulit kayu nanit, hasil tenunan sendiri
dari bahan kapas, dan bahan kain yang didatangkan dari luar daerah Gayo.
Unsur-unsur pakaian pengantin
wanita adalah baju, kain sarung pawak, dan ikat pinggang ketawak.Perhiasan
adalah mahkota sunting, sanggul sempol gampang, cemara, lelayang yang
menggantung di bawah sanggul, ilung-ilung, anting-anting subang gener clan
subang ilang, yang semuanya itu ada di seputar kepala. Di bagian leher
tergantung kalung tangang terbuat dari perak atau uang perak tangang ringit dan
tangang birah-mani; clan belgong yang merupakan untaian manik-manik. Kedua
lengan sampai ujung jari dihiasi dengan bermacam-macam gelang seperti ikel,
gelang iok, gelang puntu, gelang berapit, gelang bulet, gelang beramur, topong,
dan beberapa macam cincin sensim belah keramil, sensim genta, sensim patah
paku, sensim belilit, sensim keselan, sensim ku I. Bagian pinggang selain ikat
pinggang dari kain ketawak, masih ada tali pinggang berupa rantai genit rante;
clan di bagian pergelangan kaki ada gelang kaki. Unsur busana lain yang sangat
penting adalah upuh ulen-ulen selendang dengan ukuran relatif lebar.
Pengantin pria mengenakan bulang
pengkah, yang sekaligus berfungsi tempat menancapkan sunting. Unsur lengan,
cincin, kain sarung, genit rante, celana, ponok yakni semacam keris yang
diselipkan di pinggang.Sanggul sempol gampang dengan bentuk tertentu sempol
gampang bulet dipakai pada saat akad nikah, dan ada bentuk lain sempol gampang
kemang yang dipakai selama 10 hari setelah akad nikah. Sunting yang semacam
mahkota itu merupakan susunan perca kertas minyak warna-warni sebagai simbol
kebesaran atau keanggunan. Baju pria dan wanita clan celana pria biasanya berwarna
hitam. Sedangkan kain sarung
adalah semacam songket yang disebut upuh kerung bakasap.
Unsur pakaian yang diberi hiasan
adalah upuh ulen-ulen, baju wanita baju kerawang, clan ketawak. Motif-motif
hiasan yang selalu muncul pada ketiga unsur pakaian ini adalah: mun berangkat
atau mun beriring (awan berarak), pucuk rebung (pucuk rebung), puter tali
(pilin berganda), peger (pagar), matan lo (matahari), Wen (bulan). Motif mun
berangkat merupakan simbol kesatuan atau kesepakatan; pucuk rebung bermakna
ikatan yang teguh; puter tali bermakna kerukunan atau saling tenggang; peger
bermakna ketahanan clan ketertiban; matan lo dan ulen adalah kekuatan yang
menyinari alam semesta termasuk manusia itu sendiri.
Motif-motif di atas dijahitkan
dengan benang berwarna putih, merah, kuning, dan hijau pada latar warna hitam
pada selendang upuh ulen-ulen. Kecuali motif matahari clan bulan, motif-motif lainnya
dituangkan pula pada baju wanita dengan latar hitam. Motif pada stagen ketawak
berlatar kain warna merah muda atau merah bata. Belakangan latar kain tempat
menuangkan motif tadi menjadi sangat bervariasi, tergantung pada selera
penjahitnya, misalnya biru, kuning, merah, coklat clan lain-lain. Unsur pakaian
itu bukan lagi untuk suatu upacara adat seperti perkawinan, tetapi dipakai
dalam upacara yang bersifat resmi lainnya. Perkembangan ini ada kecenderungan
sebagai memperkuat identitas atau kebanggaan etnik. Pakaian semacam itu dipakai
para pejabat dalam menerima tamu terhormat yang datang dari luar daerah,
misalnya menteri. Tamu terhormat itu pun disambut penari yang menggunakan
"baju adat" baju ketawang dengan berselimut upuh ulen-ulen tadi.
Biasanya tamu terhormat atau tamu - agung itu diselimutkan pula dengan kain
adat upuh ulen-ulen berkualitas terbaik. Pemberian ini sebagai simbol rasa
hormat yang tinggi sekaligus sebagai ungkapan penerimaan yang ikhlas dari
masyarakat.